Nira


Siang itu terasa sangat panas, dan Nira sedang bergolek diatas ranjangnya, berusaha untuk tidur agar tidak banyak bergerak hingga menguras keringatnya. Dalam hati ia menggerutu karena suara kipas angin yang sudah berusia separuh umurnya sendiri, berderit-derit menambah kesulitannya untuk terlelap. Namun pada akhirnya ia harus melupakan kenikmatan tidur di siang hari itu, telepon selularnya berbunyi, menandakan ada pesan singkat diterima.

Ra,jgn molor mulu,mntang2 gada kuliah,ksini cpt,g prlu ngomongin sesuatu,pntg
Randu
29-02-2007
13.50

Lengkap sudah penderitaan Nira, padahal hari ini ia berencana untuk bermalas-malasan sepanjang hari. Walaupun rumah Randu hanya berjarak lima belas menit berkendara motor dari rumahnya, bukan berarti ia rela melepaskan kesempatannya tidur siang, meski untuk sang pacar sekalipun. Dengan malas ia bangkit, mengganti celana pendeknya dengan celana jeans tiga per empat, dan keluar kamar mencari helmnya.
“Bu, pinjem motor” ujarnya kepada sang ibu yang tengah berkutat dengan pekerjaannya. Mira, sang ibu adalah seorang guru sekolah dasar swasta, seringkali ia membawa pekerjaannya pulang, agar tidak terlalu banyak menghabiskan waktu di luar rumah.
“Mau kemana?” tanya sang ibu.
“Ke Randu bentaran”
“Tuh di deket telepon”
“Ngapain sih tu anak manggil jam sgini? Orang lagi pengen tidur” gerutunya.
“Yawda, ga usa lama-lama, biar ntar pulang bisa tidur lagi”
“Pergi dulu bu”
“Mm, ati-ati ya”
Sudah satu tahun setengah Nira menjalin hubungan dengan Randu, bermula dari kunjungan studi banding kampus Randu ke kampusnya. Setelah berkenalan dan bertukar nomor telepon, keduanya menyadari bahwa ternyata rumah mereka berdekatan, dan mulai sejak saat itu komunikasi diantara keduanya semakin sering, dan semakin dekat. Keduanya hanya melewati waktu seminggu sebelum akhirnya mereka resmi berpacaran.
Randu adalah anak tertua dari dua bersaudara, dengan seorang adik yang lebih muda empat tahun, sedangkan Nira memiliki dua kakak perempuan yang keduanya telah menikah, dan seorang adik yang sekarang tinggal bersama Kak Ninda, kedua dari empat bersaudara, dua tahun lebih tua dari Nira. Diantara keduanya, hubungan mereka berjalan baik, direstui orang tua kedua belah pihak, dan tidak juga berarti keduanya sudah dipersiapkan untuk menuju ke tingkat yang lebih jauh yaitu berkeluarga.
Rumah Randu terlihat sepi ketika Nira tiba. Tak lama setelah ia membunyikan bel, Randu keluar dan membuka gembok pagar, mengecup pipinya dan menuntun sepeda motor Nira ke dalam garasi.
“Ngapain sii jam sgini? Baru aja mo tidur tadi”
“Yaa, ada yang harus gue omongin” jawab Randu lembut.
“Tumben sepi, orang rumah pada kmana?” tanya Nira, karena biasanya tante Marla, ibu Randu, ada di rumah beserta seorang pembantu.
“Nyokap ada perlu, mo skalian bayar listrik katanya, bi Nah ikut” Nira mengikuti Randu masuk ke rumah dan langsung menuju kamar. Nira sudah terbisaa keluar masuk kamar pacarnya itu, bahkan ketika Randu sedang tidak ada di rumah, hal ini bermula sejak Randu suatu hari mengalami kecelakaan dan harus dirawat di rumah sakit selama seminggu, rasa sayang Nira membuatnya berusaha untuk selalu berada disamping pacarnya itu. Nira menyempatkan diri untuk pulang pergi dari rumahnya, ke rumah Randu, dan rumah sakit untuk mengantarkan barang-barang yang diperlukan selama pacarnya dirawat.
Randu sendiri bukan pria yang terlampau tampan, tapi boleh dibilang untuk ukuran Nira, Randu sesuai dengan tipenya, tipe pria bersih yang tidak terlalu sempurna, blak-blakan, berpengetahuan lebih luas dibandingkan teman-teman pria sebayanya, berpembawaan dewasa namun cepat panik, sehingga Nira sering tertawa dibuatnya melihat sikapnya yang terkadang susah tenang ketika masalah datang. Penampilan fisik pacarnya itu boleh dibilang rata-rata, walau tidak kelihatan atletis Nira tahu kebisaaan Randu yang selalu menyempatkan diri untuk jogging di pagi hari setidaknya dua kali seminggu.
 Keluarga Randu sendiri dapat dikatakan cukup menyenangkan, mereka menerima Nira dengan tangan terbuka hingga ia dapat mengakrabkan diri dengan cepat di tengah-tengah mereka. Sedangkan dibandingkan dengan keluarga Randu, keluarga Nira tidak jauh berbeda, hanya saja kebahagiaan keluarganya tidak terasa lengkap karena kepergian sang ayah lima tahun lalu.
“Gue jadi dikirim”
“Hah? Afrika?” tanya Nira.
“Iya”
Satu tahun lalu Randu mengirimkan aplikasi ke salah satu organisasi sosial internasional yang membuka pendaftaran bagi para relawan untuk membantu pelayanan pembangunan fasilitas perumahan di salah satu daerah di Afrika. Program yang diikutinya akan berlangsung selama tiga bulan. Nira tercenung, pikirannya berkelebat membayangkan tiga bulan tanpa Randu di sampingnya, setelah satu tahun berlalu ia menyangka aplikasi Randu telah ditolak. Tiga bulan tidaklah lama, namun sepeninggal sang ayah, kedekatannya dengan sang pacar cukup untuk membuatnya merasa tersiksa selama ditinggal pergi. Namun pada akhirnya Nira dapat memaksakan dirinya tersenyum.
“Mm, berangkat kapan?” tanyanya.
“Besok”
“Besoook? Kok mendadak?” Nira melongo, sudah jelas ia tidak menyangka bahwa hal itu akan terjadi tiba-tiba.
“Baru kmaren tiba-tiba ditelpon, gue tinggal ngepak seperlunya, sisanya ditanggung sono” Randu berusaha menjelaskan, namun senyum Nira terlanjur menghilang, Randu menggenggam tangannya, berusaha menenangkan.
“Ra, tiga bulan ga lama kok, ga rasa nanti juga gue uda balik”
“Ya bukannya gitu, ini kan mendadak banget”
“Mendadaknya dari sono, jadi gue ternyata dijadiin reserve, tapi sama perwakilan disini ga dikasi tau, jadi kmaren gue ditelpon langsung dari pusatnya”
“Ya tapi kan…”
Randu menghela nafas, ia menarik Nira ke pangkuannya, tangannya membelai kepala Nira dengan lembut.
“Sori kalo gue ga langsung ngasi tau elo, gue juga panik dan jadi repot karna harus ngepak mendadak”
Dan akhirnya setelah beberapa saat Nira dapat kembali memaksakan dirinya untuk tersenyum, berkali-kali ia mengatakan kepada dirinya bahwa tiga bulan bukanlah waktu yang lama.
“Disana jangan selingkuh ya” ujarnya bercanda.
“Engga lah, mo selingkuh sama sapa? Monyet? Singa?”
Nira tertawa, dan tiba-tiba Randu mengecup bibirnya, lama-kelamaan semakin dalam, dan kedua tangannya mulai bergerak ke bagian-bagian sensitif, pelan-pelan Nira melepaskan kedua tangan Randu, menandakan bahwa ia tidak menginginkannya.
“Ga boleh ya?” tanya Randu.
“Udah satu taun lebih kita survive tanpa hal-hal kaya gitu, tiga bulan apa bedanya? Lo kan uda janji”
Randu tersenyum dan mengecup pipi pacarnya itu “Maafin ya”
Hal inilah yang membuat Nira sayang kepada Randu, sebagai pacar, ia selalu berusaha membuat Nira merasa aman berada di dekatnya, ia protektif, namun tidak posesif, sehingga mudah bagi keduanya untuk menjalani hubungan mereka dengan rasa penuh saling percaya.
***
Malam itu Nira sibuk di depan komputernya, ia mengumpulkan semua koleksi foto digitalnya bersama dan menyatukannya ke dalam satu file. Banyaknya kenangan yang telah mereka lalui bersama membuat Nira terkadang tersenyum, atau bahkan bersedih ketika ia melihat salah satu foto dimana ia sedang menemani Randu di rumah sakit ketika sang pacar mengalami kecelakaan. Kumpulan foto itu disatukan, ditata sedemikian rupa dan dicetak ke dalam satu lembar foto berukuran dua kali kartu pos agar mudah diselipkan ke dalam organizer milik Randu, diatasnya, Nira menuliskan satu kalimat pendek dengan spidol emas.
“I’m always with you”
Nira